BOGOR, BRAVO-IDN – Sengketa tanah warisan di Desa Mampir, Bogor, antara ahli waris sah dan seorang pengusaha, menyita perhatian publik dan memantik sorotan viral akibat dugaan kejanggalan administratif serta keterlibatan aparat desa. Linan, mewakili enam saudaranya sebagai ahli waris almarhum Ayan bin Guto, menuntut pengakuan atas sebidang tanah seluas 1.248 meter persegi yang kini diklaim oleh seorang pengusaha pemborong buah sawo berinisial Haji UJ.
Berdasarkan pernyataan resmi yang dikutip Mediapolrinews, Selasa (21/10/2025), Linan menegaskan bahwa tanah di Blok 031 beserta tujuh pohon sawo tersebut merupakan wasiat langsung dari almarhum ayahnya. “Orang tua saya pernah menyampaikan amanah bahwa tanah waris buat saya tidak pernah di jual belikan,” ujar Linan.
Ia secara tegas menantang Haji UJ untuk membuktikan klaim kepemilikannya dengan dokumen sah. “Buktinya, bawa Sertifikat Hak Milik atau bukti pembelian. Bukti pembayaran saja tidak punya. Ada segel, tapi segel palsu karena tidak ada saksi dan tanda tangan,” tegas Linan.

Linan mengungkapkan kejanggalan mendasar pada Letter C (surat keterangan pajak tanah). Pada 2020, Letter C masih tercatat atas nama Ayan bin Guto, namun pada 2025 kepemilikannya berubah. “Yang dapat merubah Letter C ya hanya orang desa,” ujarnya, Ia menduga kuat adanya kolusi dan keterlibatan Kepala Desa Mampir dalam kasus ini.
Kecurigaan ini semakin menguat ketika terjadi pertemuan tidak terduga di kebun antara Linan dan Haji UJ. Saat dikonfrontasi, Haji UJ disebutkan menjawab bahwa persoalan tanah tersebut “sudah beres” dengan Kepala Desa. “Saya pernah ketemu dengan pak haji di kebon, pas kebetulan saya beres pasang plang. Saya tanya, mau kemana pak haji, pak haji UJ jawab mau lihat sawo. Kemudian kata saya, sawo siapa ? Ini mah sawo saya pak haji, kenal gak sama saya ini saya Linan. Ini tanah saya gimana ini urusannya.”Ucap linan.
Ditanya soal urusan tanahnya , “Pak haji UJ menjawab udah beres katanya sama pakades, kata saya beres gimana, gak ada yang datang kerumah saya. Pas di-gituin, eh Pak Haji-nya langsung pulang, dia kabur,” ungkap Linan.
Upaya mediasi yang diinisiasi Linan di kantor desa pada 2020 dinilai tidak efektif karena tidak dihadiri oleh Kepala Desa dan hanya dihadiri Sekretaris Desa yang dinilai tidak memberikan tanggapan.
Linan juga mengungkapkan kekesalannya karena ia justru diminta menyerahkan dokumen asli SPPT PBB milik orang tuanya, dan merasa dipaksa mengundurkan diri dari posisinya sebagai Linmas Desa saat berniat mengurus surat keterangan ahli waris. “Saya minta kumpul untuk membuat keterangan ahli waris, namun malah disuruh buat surat mengundurkan diri dari linmas,” terangnya.
Linan menyangkal klaim Haji UJ yang menyatakan telah membeli tanah tersebut pada 1995. “Dia ngakunya beli tahun 1995, tapi mana buktinya? Kwitansi di atas materai sudah ada saat itu. Pelunasan Rp10 juta katanya disaksikan keluarga saya, tapi keluarga saya tidak pernah menyaksikan dan tidak ada bukti pembayarannya,” jelas Linan.
Ironisnya, Linan mengaku telah menerima tiga kali somasi dari kuasa hukum Haji UJ dengan keterangan yang berbeda-beda, termasuk salah menyebutkan blok tanah pada somasi pertama.
Linan, selaku pihak yang merasa dirugikan, menuntut, Pembuktian dokumen kepemilikan tanah yang sah dan lengkap dari Haji UJ.
Ia juga meminta pihak Pemerintah Desa Mampir untuk menyelesaikan sengketa ini secara transparan, adil, dan profesional.
Dam diadakannya kembali mediasi dengan kehadiran dan komitmen penuh dari Kepala Desa Mampir.
Hingga berita ini diturunkan, upaya untuk mendapatkan konfirmasi dari pihak Haji UJ dan Pemerintah Desa Mampir belum membuahkan hasil dan tidak mendapatkan tanggapan resmi.
Sengketa tanah warisan Linan ini menyoroti pentingnya kepastian hukum, dokumen yang akuntabel, serta transparansi aparat desa dalam penyelesaian sengketa tanah. Dugaan kejanggalan administratif dan kolusi menuntut penyelesaian yang objektif, tegas, dan sesuai dengan hukum yang berlaku.
(Red)