KPK Dalami Dugaan Penerimaan Barang dan Uang Dirut AirNav di Kasus Amarta Karya
Jakarta – Pengusutan kasus dugaan korupsi proyek fiktif PT Amarta Karya, dipastikan terus berjalan. Termasuk, pendalaman perihal dugaan pemberian sejumlah barang mewah, dan uang dari Amarta Karya kepada Dirut AirNav Indonesia, Polana Banguningsih Pramesti.
“Karena penyidikannya masih berjalan dan status Yang Bersangkutan (Polana) masih sebagai saksi. Update (kasusnya) sebagaimana yang disampaikan sebelumnya, masih update yang termutakhir sampai dengan saat ini,” kata Juru Bicara Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Tessa Mahardika Sugiarto kepada awak media, Senin (10/6/2024).
Diketahui, Polana telah diperiksa penyidik KPK pada Agustus 2023. Saat itu, Polana diperiksa sebagai saksi untuk melengkapi berkas perkara mantan Dirut PT Amarta Karya, Catur Prabowo.
Sebelumnya, Kepala Bagian (Kabag) pemberitaan KPK Ali Fikri menegaskan, soal Polana akan dibuka di persidangan. “Materi pemeriksaan pasti nanti dibuka di hadapan majelis hakim,” kata Ali beberapa waktu lalu.
Penyidik mencecar Polana mengenai aliran uang hasil korupsi proyek fiktif PT Amarta Karya, dalam proses pemeriksaan kala itu. Diduga, hasil korupsi itu mengalir ke sejumlah kegiatan perusahaan.
“Prinsipnya kami konfirmasi kepada pihak-pihak sebagai saksi dalam rangka memperjelas dugaan perbuatan tersangka dalam perkara yang terus kami selesaikan penyidikannya ini,” kata Ali Fikri.
Berdasarkan informasi yang diterima wartawan, Polana diduga menerima barang mewah, seperti sepeda Brompton dan jam Rolex serta sejumlah dana dari PT Amarta Karya.
Dikonfirmasi mengenai barang-barang yang diterima Polana, Ali menyatakan akan mengonfirmasi kepada penyidik. “Apakah juga ada penerimaan barang, seperti sepeda Brompton dan lain-lain, tentu nanti kami akan konfirmasi dulu kepada tim penyidik KPK,” kata Ali.
Dalam perkara tersebut, KPK telah menjebloskan mantan Dirut PT Amarta Karya, Catur Prabowo dan Direktur Keuangan PT Amarta Karya, Trisna Sutisna ke dalam penjara.
Catur diduga memerintahkan Trisna dan pejabat bagian akuntansi Amarta Karya mempersiapkan sejumlah uang yang diperuntukkan bagi kebutuhan pribadinya.
Untuk merealisasikan perintah tersebut, nantinya sumber uang diambil dari pembayaran berbagai proyek yang dikerjakan PT Amarta Karya.
Trisna bersama dengan sejumlah staf di PT Amarta Karya kemudian mendirikan dan mencari badan usaha berbentuk CV untuk menerima pembayaran subkontraktor dari PT Amarta Karya tanpa melakukan pekerjaan subkontraktor yang sebenarnya alias fiktif.
KPK menduga ada sekitar 60 proyek pengadaan PT Amarta Karya yang disubkontraktorkan secara fiktif oleh Catur dan Trisna.
Beberapa di antaranya, proyek Rumah Susun Pulo Jahe, Jakarta Timur, proyek Gedung Olahraga Univesitas Negeri Jakarta (UNJ), dan pembangunan laboratorium Bio Safety Level 3 Universitas Padjadjaran (Unpad). Akibat dugaan korupsi ini, keuangan negara menderita kerugian sekitar Rp 46 Miliar.
Kasus itu pun dikembangkan KPK dengan menjerat dua orang yang diduga kepercayaan Catur Prabowo sebagai tersangka, mereka adalah Pandhit Sejo Aji dan Deden Prayoga yang merupakan pegawai Amarta Karya.
(*)